kembali ke layar

Bukan Sebuah Puisi

Jatuh dan Patah, dua kata yang erat hubungannya. Layaknya sebuah barang yang terjatuh hingga kemudian terpatahkan antara sisinya. Lalu, apakah Jatuh Hati dan Patah Hati punya hubungan yang serupa?

Jatuh Hati adalah hal yang indah, setidaknya pada mulanya. Begitu yang bisa kutafsirkan. Rasanya menyenangkan, menegangkan, mencemaskan, hingga menakutkan.

Beberapa orang takut untuk kembali jatuh hati, bukan karena dia yang sudah tak punya rasa. Melainkan hanya takut untuk kembali mati rasa.

Bagaimana dengan Patah Hati? Bisakah ia berdiri tegak sendiri tanpa hadirnya Jatuh Hati? Rasanya mustahil, ia tak semandiri itu.

Jangan tanyakan rasanya, sulit untuk diceritakan namun terkesan mudah untuk diingat. Kerap berputar - putar di pikiran hingga terbelit kusut tak karuan, berantakan, dan tak dapat didefinisikan.

Lalu, apa hubungan keduanya? Rasanya butuh dilakukan hipotesis untuk membuktikannya, agar semua orang tau bahwa selalu ada rasa yang tertinggal di tiap hati yang sempat menetap.

Tanpa Nama, Tanpa Rasa.
2020.

Desember?

6 Desember 2019.

        Sudah 22 kali bulan Desember kulewati dalam hidup. Mulai dari merasakan tiup lilin pertama, bahkan hingga merasakan terbaring di atas kasur rumah sakit untuk yang pertama.

        Masih teringat pula, kala aku menunggu pagi di salah satu tanggal di bulan ini. Aku berdiri memakai seragam sekolah, menunggu sebuah ucapan dari seorang perempuan yang biasa kupanggil dengan kata mama. Menerima beberapa rupiah, yang kemudian aku tabung untuk membeli hal yang kadang tidak penting.

        Atau mungkin tepat di tahun 2013, kala aku pertama merasakan sebuah "kejutan" dari seseorang. Dari dia yang dulu pernah menetap di pikiran. Sebuah kado berupa gelas bertangkai, dengan sedikit keunikan ketika berisikan air hangat.

         Atau beralih di tahun 2014? Kala kata berpisah tak jelas terucap, namun nyatanya kita memang harus menjauh. Akhir tahun, libur yang tak pernah setenang masa lalu.

         Atau ketika Desember di tahun 2015 telah tiba? Menanti persiapan KKN, menunggu di sebuah kos yang cukup berantakan. Sendirian. Tanpa seorang pun teman yang telah kembali ke rumahnya masing - masing.

         Sepertinya tidak seburuk itu, sampai bulan ini tiba di 2016. Kala teman seangkatan sudah mulai berpacu dalam BAB 3, dan aku masih terdiam mencari sebuah judul. Diam seakan berpikir, berkata seakan beride.

         Rasanya biasa saja ternyata. 2017 jauh lebih dari itu semua. Pertama kalinya aku menetap di rumah sakit, terbaring dengan hemoglobin yang rendah. Bertatapan dengan mata dokter yang tajam sambil memegang suntikan di tiap paginya.

         Desember, bulan ini selalu punya cerita, selalu berubah - ubah. Lalu kali ini, peralihan apa yang akan terjadi? Ntahlah. Tetapi, langkah ke depan harus segera ditetapkan.

Desember, mari bertemu kembali di tahun mendatang.

Kuharap kau tak sungkan berpapasan denganku lagi.

Lebih Baik Mana(?)

     24 Desember 2015. Selamat menua, kamu yang sudah lama tak tersentuh. Kamu yang sudah lama tak terucap. Kamu yang sudah lama tak teringat. Iya, kamu, kenangan yang sudah hampir terlupakan.

     Apa kabarmu sekarang? Masihkah kamu memaksaku untuk terus diingat? Apa mungkin aku yang salah paham? Bahwa yang sebenarnya memaksa untuk terus mengingat adalah egoku sendiri.

     Menurutmu, lebih baik mana, menguburmu lalu menggalinya kembali, atau ikut terkubur bersamamu?

     Menurutmu, lebih baik mana, berlari sejauh mungkin meninggalkanmu, atau berdiri di tempat yang sama ketika kamu meninggalkanku?

     Menurutmu, lebih baik mana, memulai yang baru namun bayangmu kadang menghantui, atau melukis bayangmu dalam kesendirianku?

     Lalu, bagaimana pendapatmu? 

Aku melupakan satu hal. Kamu hanyalah sebuah kenangan yang takkan bisa memberi jawaban. Dayamu hanyalah sekedar mengingatkan. 


Terimakasih telah mengingatkanku di tiap tanggal ini. 

Terimakasih telah menyapaku di tiap keterpurukanku.

Terimakasih telah mengharuskanku membuat sebuah pilihan.






Lebih Baik Mana,

Berjalan dengan Keraguan 

atau

Berdiri di tempat dengan ketidakpastian?

Ujian Terburuk


MakhlukBertaliHijau


#EPS3


     14 September 2013. Semenjak mengenal Ayu, hari - hariku berlalu begitu indah. Makin kesini, aku semakin dekat dengannya. Interaksi kita pun semakin membaik. Dari yang awal kenal cuma bales, “ya”. Sekarang udah mendingan, “Iya”. Satu tambahan huruf yang amat berarti.

Semenjak kenal dia, aku juga semakin rajin kuliah. Gak pernah telat malah. Sekarang aku ke kampus 30 menit sebelum masuk. Dulu, aku ke kampus kalau temen udah chat, "Bro, dosennya udah dateng nih!".

     Semenjak kenal dia pula, aku juga mulai menyukai apa yang dia sukai. Dia suka warna ungu, aku juga suka. Dia suka teddy bear, aku juga suka. Dia suka cowo, aku juga suka. #yha

Satu hal yang belum kutanyakan tentang dia adalah statusnya, aku ragu menanyakannya. Tapi kalau dilihat dari responnya ke aku sih, seharusnya pertanyaan itu gak perlu dilontarkan. Dia udah ngebuka celah buat aku masuk ke zona hidupnya. Kayaknya ya, pede aja dulu. 

Pagi itu, kita akan melaksanakan ujian mid semester Matematika. Kita duduk di bagian tengah kelas. Seperti biasa, Ayu duduk di sebelahku. Antara senang sama takut sebenarnya. Senang dia ada di sebelahku, tapi takut malah jadinya ntar gak fokus. 

“Spesial untuk kelas ini, ujiannya boleh open book”, kata asdos sambil membagikan soal. "Kalau open handphone boleh pak?", tanya murid dari depan kiri kelas. Asdos mengangguk mengiyakan. Tak lama kemudian, terdengar lagi celetukan dari pojok belakang kelas, " Kalau open hatinya buat saya boleh juga pak?". Suasana pun hening.

Semua mahasiswa mengerjakan ujian dengan seksama dan diam. Diam – diam nyontek lebih tepatnya. Ada yang diam - diam ngintipin kertas jawaban sebelahnya. Ada yang terang - terangan pinjam kertas jawaban sebelahnya. Ada juga yang cuma bisa diam aja. Iya, kertas ujiannya yang lagi dipinjam.

Alhamdulillah, ujian Matematika berhasil aku lalui dengan sempurna. “Untung soalnya gampang ya hehe”, kataku basa – basi ke Ayu. Dia cuma balas dengan senyumnya. “Eh iya! Untung gampang ya haha!”, kata Anis memotong pembicaraanku tadi. Anis, temen sekelasku pada mata kuliah ini. Asalnya dari pekanbaru.

“Oiya yu, tadi malam siapa?”, tanya Anis ke Ayu secara tiba – tiba. “Yang mana?”, jawab Ayu. Mereka berdua berdiskusi seolah aku tak ada disitu. “Yang tadi malam di depan kosan kamu”, tanyanya lagi. 

      “Oh itu, pacar aku dari padang”, jawabnya singkat. Aku cuma tertunduk diam. “Oiya? Eh jadi nasib si itu gimana?”, tanya Anis sambil melirik ke arahku. Aku pura – pura gak denger lalu bersiul sambil ngeluarin handphone. Menu, back, menu, back. Itu yang aku lakukan.

Kelas pun usai. Kali itu, aku gak pulang bareng Ayu. Aku lebih memilih nongkrong bareng teman - teman sepergabutan. “Oh itu, pacar aku dari padang”, kata – kata itu terus terngiang – ngiang di pikiranku sepanjang perjalanan pulang.

Hari itu, aku baru tau kalau Ayu ternyata udah taken. Alias udah punya pacar. Kabar baik buatku, tau info itu dari mulutnya sendiri. Dan sekaligus kabar buruk buatku, karna udah terlanjur suka sama dia.

Semenjak kejadian itu, aku lebih memilih untuk sedikit menjaga jarak dengannya. Walaupun terasa sulit. Tapi apa daya, cuma itu yang bisa kulakukan pada saat itu.

Satu hal yang aku pelajarin dari kejadian pagi itu. Kalau kita gak berani nanyain langsung, “Kamu udah punya pacar belum?”. Kita juga gak akan pernah berani buat nyatain, “Kamu mau gak jadi pacar aku?”.




Mabim, Pola Percintaan


MakhlukBertaliHijau


#EPS2


2 September 2013. September, bulan penuh curah hujan. Begitu kata seorang reporter di televisi. Tapi, bagi kami para maba? Rasanya lebih seperti bulan penuh curah beban. Tugas kuliah dan acara pengenalan kampus tiada hentinya.

Bulan ini diawali dengan kegiatan pola pembinaan lanjutan, yang tujuannya adalah agar mahasiswa baru yang masih 'liar' dapat dijinakkan dan lebih mengenal budaya di fakultas ini. Namanya Mabim, Masa Bimbingan.

“Kelompok 11, tolong dicatat, anggotanya adalah B-83,...”, teriak senior didepan para maba. Aku tertunduk lesu, ngantuk parah. Sore itu melelahkan, dan namaku belum juga disebutkan. “Dan yang terakhir, B-157”, sambung senior tadi. B-157, itu NPMku. Nomor Pokok Mahasiswa yang tujuannya sih buat pamrih ke dosen kalau kita abis sotoy gitu didepan kelas.

Aku tergabung di kelompok 11 yang isinya didominasi para cewe dibanding cowo. Kita, anggota kelompok 11 duduk melingkar dan tepat dihadapan kita duduk pula dua orang senior. Mereka adalah PK, Penjahat ke.. BUKAN! Pendamping Kelompok. Yang satu wanita berkerudung dan yang satunya lagi pria berkacamata. 

Ngeliat kanan – kiri, itu yang aku lakukan. Berharap sekelompok sama orang yang udah dikenal. Aku menatapi satu per satu anggota kelompok 11. Dan pandangan itu terhenti tepat didepan seorang perempuan berkerudung dengan pipinya yang terlihat seperti bakpao. “Kayak pernah liat. Tapi dimana ya?”, kataku bertanya – tanya di dalam hati.

Pertanyaan itu terus bergulir di pikiranku berhari – hari. Siang itu, kelas Dasar Ilmu Tanaman, aku ngeliat dia. Ternyata benar, kita sama - sama berlabuh di Agribisnis D. 

"Eh, ternyata sekelas ya! Pantes waktu kumpul kelompok pertama aku kayak kenal kamu", sapaku. "Hahaha ya emang. Lagian sebelumnya kita juga udah pernah ketemu kali. Kamu kan yang hobinya masuk toilet cewek?", jawabnya dengan amat ingat. 

Pantes aja kayak kenal, dia orang yang aku tabrak waktu buru - buru ke toilet beberapa hari lalu. "Oh hehehe. Itu pertama dan terakhir kalinya sih", jawabku dengan sedikit canggung. Ternyata memang kita pernah bertemu di momen yang tak diinginkan.

“Eh kamu ntar kumpul kelompok gak? Bareng ntar ya”,lanjutku dengan nada sok akrab. “Hehe iya dateng kok. Bagi nomor kamu biar gampang infoinnya”, sahutnya dengan suara halusnya. Tanpa basa – basi, saking semangatnya, aku kasih nomor hapeku, beserta hape – hapenya. "Tulis aja nomor kamu disini, aku lupa nomorku berapa", jawabku sambil ngasih hp.

Namanya Ayu. Tiap mikirin dia, jantungku berdetak lebih kencang. Apalagi kalau baru beres lari muterin UNPAD. #Yha. 

Gara - gara sekelompok Mabim, kita jadi  lebih deket. Kita jadi sering berangkat kuliah bareng, pulang bareng, makan bareng, bahkan napas juga bareng – bareng. Kayaknya bener apa yang aku rasain kemarin, aku jatuh hati sama dia. Fix, gabisa diganggu gugat!



Makhluk Bertali Hijau


MakhlukBertaliHijau


#EPS1


        29 Agustus 2013aku mengawali petualangan di sebuah kecamatan bernama Jatinangor. Di tanah sunda yang menjunjung tinggi kebudayaannya. Di panas terik matahari yang kerap menyengatnya. Dibalik sebuah tembok bertuliskan “UNPAD” yang amat megah kelihatannya. (Gimana? Udah setara budak sajak?)

  UNPAD, Universitas Padjajaran. Salah satu kampus dengan nama yang besar di Indonesia. Aku adalah satu di antara banyak mahasiswa yang tersesat di balik nama besarnya, di Fakultas Pertanian lebih rincinya. 

Pagi itu, aku berlari tergesa - gesa mengejar sebuah angkutan umum khas Unpad sembari menahan pipis yang sudah bergejolak. Sebutan untuk angkutan ini cukup unik, Odong - Odong. Wahana mainan anak balita? Bukan! Odong – odong disini bukan untuk balita, melainkan untuk mahasiswa. Mahasiswa baru kebanyakan.  Naik odong – odong di pagi hari jauh lebih menegangkan dibandingkan naik Histeria di dufan, dalam keadaan mati listrik. #yha

  Hampir semua mahasiswa baru menggunakan alat transportasi ini, kecuali bagi mereka yang rela mengeluarkan uang sebesar Rp. 5000 untuk naik ojek. Mahasiswa baru di fakultasku dilarang membawa kendaraan sendiri selama masa pembinaan. 

Aku sendiri lebih memilih uang Rp. 5000 nya untuk beli telor gulung yang dicemilin di goncangan odong - odong. Kuliner dapet, Wahana juga. Resiko terburuknya paling muntah - muntah di kelas.

 Aku yang memakai kemeja kotak – kotak biru dengan nametag yang tersangkut di kantong kanan bertuliskan "Hanif B-157" disertai sepatu bertali hijau yang menempel pada kedua kaki turun dengan cepat dari odong - odong. 

      Angin berhembus kencang di pagi itu. Terasa semeriwing dari kulit luar kepala yang gundul hingga menembus ke seisi tubuh. “Hari pertama. Hari baru, rencana baru”, kataku sambil berlari mencari – cari kelas mata kuliah pertama.

  Kuliah perdana. Ini tujuanku dateng ke kampus pagi itu. DIT, Dasar Ilmu Tanaman, mata kuliah dengan bobot enam sks langsung menghantui pikiran ketika melangkah masuk menuju kelas. Melirik ke seputaran kelas, aku melihat banyak spesies baru yang sebelumnya belum pernah kutemui. 

      Misalnya, seorang pria berkulit putih, mata sipit, wajahnya asia banget dan ketika ngomong, "Si anying gelo!". Mengejutkan sekali. Kalau di Medan, orang keturunan tionghoa jarang ada yang bicara bahasa Melayu ataupun Batak. Namanya juga cukup unik, Deva Firstian. Terkesan ada unsur bule bulenya.

 Kelasku pagi itu empat kali lipat lebih besar dibanding kosanku. Cukuplah untuk menampung sekitaran empat puluhan makhluk bertali hijau ini. Suasana disana terasa nyaman untuk proses belajar - mengajar. 

     Tak terdengar suara bisik – bisik gosip dari kursi belakang, atau suara cekikikan dari sudut kanan depan, atau pula suara notif bbm dari tengah kelas (BBM sangat trending pada masa itu). Kalau dunia itu panggung sandiwara, maka kelas inilah medianya. Media untuk menyalurkan sandiwara itu semua.


     Tak lama kemudian masuklah seorang ibu dosen yang memakai kacamata dengan rambut yang hampir memutih seutuhnya. Umurnya mungkin berimbang dengan umur nenekku. "Selamat pagi anak - anak!", sapanya kepada kami yang lebih terasa seperti cucunya. "Pagi juga nek", balasku dalam hati.


     Pertanyaan klasik di awal kuliah pun dilontarkan oleh dosenku. "Siapa yang disini memilih pertanian di pilihan terakhir?", dan hampir seisi kelas mengangkat tangan dan bersorak layaknya sebuah prestasi. Hingga pertanyaan pun berlanjut ke, "Siapa yang memilih pertanian di pilihan pertama?". 


     Suasana hening, ibu dosen menoleh secara perlahan dari kanan lalu ke kiri. Aku seakan terhipnotis, mengikuti dengan arah yang sebaliknya, menoleh ke kiri lalu ke kanan. Hingga akhirnya kami saling menatap di sudut yang tepat. Aku mengangkat tanganku dengan elegan, "buk". "Oh jadi cuma kamu?", responnya. "engga buk, saya mau ijin ke kamar mandi", jawabku sambil menahan pipis sedari tadi.


    Aku berlari ke toilet terdekat. "Aduh!", teriak seorang perempuan berkerudung dengan pipi sedikit kembung layaknya bakpao. Namanya Ayu, begitu yang kubaca di nametagnya. Aku tak sengaja menabraknya.


"Eh maaf - maaf, ga sengaja"

"Iya gapapa. Kamu ngapain disini?"
"Aku? Kuliah. Mahasiswa sini juga kok"
"Bukan, Maksud aku, kamu ngapain di depan toilet cewek? Toilet cowo yang di ujung lorong sana"

   Aku hanya mengangguk pasrah mengiyakan arahannya. 


   Pengalaman kuliah pertama, pipis di kampus pertama, hingga tabrakan di kampus yang pertama. Mari kita lihat, seberapa kuat aku mencari jalan keluar dari pilihan yang kurasa tersesat ini. 

       




Pup Berbayar

Hai!
Piye Kabare?


Enak Jamanku to?
 


     Malam ini gue pengen bahas tentang WC. Iya, tempat lo mencurahkan segala beban di perut beserta baunya.

     Menurut gue, WC bukanlah sekedar tempat untuk buang air. Dia juga ruang dimensi dimana ide - ide bertebaran di sekelilingnya. Btw, ini gue nulisnya di WC.

     Tapi ga semua WC itu indah. WC berbayar di Mall misalnya. Sedikit heran aja sih liat Mall yang WCnya masih berbayar. 

    Untungnya gue pinter ya, jadi setiap kali mau buang air di Mall, yang pertama kali gue cari bukan WC umumnya. Tapi, bioskopnya.

    Masuk ke dalam bioskop, pura - pura liat film yang sedang tayang sambil bilang dengan wajah yang meyakinkan, "Bagus nih filmnya" sembari berjalan ke WC. 

    Gue ga nyaman sejujurnya kalau buang air di WC Mall. WCnya duduk semua. Gue kalau di WC duduk pasti makenya jongkok. Gue ga bisa yang namanya buang air di WC duduk, ngedennya kurang maksimal aja rasanya.

    Kedengarannya kampungan banget yah? Tapi masih mending gue sih daripada temen gue. Kemarin dia pup di WC rumah gue. WC jongkok, eh dia makenya malah duduk.

    Itu bokongnya nempel ke dasar WC. Ceboknya sih gampang. Sekalian nyiram pup juga bisa sih. Tapi tetep aja, ga gitu juga!

    Namanya juga manusia, punya pola pikir dan kreasi tersendiri. 






Sekarang Semua Berbayar

Pipis Aja Bayar

Cuma Pupus Aja Yang Gratisan

#KemudianGalau